Pemerintah Cari Solusi Utang Whoosh Tanpa Sentuh APBN

Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Suminto menambahkan, utang kereta cepat merupakan pinjaman bisnis antara dua konsorsium. Tidak ada unsur utang pemerintah di dalamnya.

Beban Utang Rp118 Triliun dan Bunga Hampir Rp2 Triliun

Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung dimulai pada 2016 dengan nilai investasi US$7,27 miliar atau setara Rp118,37 triliun. Angka tersebut sudah termasuk pembengkakan biaya sebesar US$1,2 miliar.

Sekitar 75% pendanaan berasal dari pinjaman China Development Bank. PT Kereta Cepat Indonesia China sebagai pengelola merupakan konsorsium yang 60% sahamnya dimiliki PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia dan sisanya konsorsium China Railway.

Di dalam PSBI, PT Kereta Api Indonesia memegang saham mayoritas 58,5%. Posisi ini membuat KAI menanggung beban terbesar dari kerugian operasional dan kewajiban utang.

Sepanjang 2024, PSBI mencatat kerugian Rp4,2 triliun. Per semester pertama 2025, kerugian mencapai Rp1,63 triliun dengan kontribusi rugi bersih kepada KAI senilai Rp951,5 miliar.

Pengamat ekonomi dari Political Economy and Policy Studies Anthony Budiawan menghitung beban bunga utang mencapai hampir Rp2 triliun per tahun. Angka ini berasal dari bunga 2% untuk utang pokok dan 3,4% untuk pembengkakan biaya.

“Darimana uang Danantara membayar bunga utang itu? Uang Danantara kan cuma dari dividen saja dan dari utang,” kata Anthony kepada BBC News Indonesia, Minggu (12/10).

Anthony menilai Danantara memang tidak memiliki pilihan lain selain meminta bantuan pemerintah. Sebab jika dana habis untuk membayar utang Whoosh, Danantara tidak dapat menjalankan proyek lainnya.

Namun Anthony juga menilai penyertaan modal dari APBN sudah tidak mungkin dilakukan. Sejak dividen BUMN diserahkan kepada Danantara, APBN tidak dapat lagi memberikan suntikan modal.

Ekonom Dukung Sikap Menkeu

Kepala Pusat Makro Ekonomi dan Keuangan Indef Rizal Taufikurahman menilai penolakan Menkeu Purbaya sudah tepat dan menunjukkan disiplin fiskal. Langkah ini mencegah terciptanya kebiasaan buruk di mana BUMN berlindung di balik APBN setiap menghadapi masalah.

“Secara makro, keputusan Purbaya memberi sinyal penting bahwa pemerintah menolak menjadi penyelamat terakhir sekaligus penampung bagi proyek bermasalah,” katanya.

Rizal menilai kondisi Whoosh memang berisiko tinggi karena beban keuangan tidak seimbang dengan kapasitas pendapatan. Sepanjang 2024, tiket yang terjual hanya 6,06 juta lembar dengan total pendapatan kotor sekitar Rp1,5 triliun—jauh lebih kecil dari biaya bunga utang.